Berakhlak Mulia dengan Menahan Amarah

Berakhlak Mulia dengan Menahan Amarah

Seorang muslim pasti mendambakan surga, dan salah satu jalan menuju kampung keabadian itu adalah dengan membawa amalan takwa dan berakhlak mulia.

Al Hasan Al Bashri mengatakan:

حُسنُ الخلق : الكرمُ والبذلة والاحتمالُ

“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa menahan amarah.”

Mudahkah bagi kita menahan amarah? Gampangkah bagi kita menjadi pribadi yang berakhlak baik?

Dinukil dari situs halodoc.com, emosi merupakan perasaan atau afeksi yang timbul dalam diri seseorang sebagai respon terhadap suatu situasi. Emosi terbagi dua, yakni emosi positif seperti cinta, gembira, terhibur, dan merasa tenang serta emosi negatif di antaranya adalah marah, sedih, dan takut.

Dalam hubungan bersosialisasi, ketika masalah kecil dijadikan besar, dan jika kita tidak bisa menahan amarah, maka hal tersebut bisa membuat orang lain merasa tak nyaman. Kadangkala, kesalahan bersumber dari diri kita sendiri, karena keegoisan kita, kurang empati, dan tidak peduli perasaan orang lain. Atau ketika kita berada di posisi yang benar, bisa jadi orang lain tidak sepenuhnya salah.

Daripada mencari kambing hitam, lebih baik kita bermuhasabah karena musibah datang bisa karena dosa kita sendiri. Ketika kita berkali-kali menyadari kekurangan kita, maka hendaknya kita berusaha memperbaiki hal tersebut. Tentang orang lain, ikhlaskan urusan itu kepada Allah Ta’ala semata. 

Allah berfirman:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

Namun, tatkala kita yang terdzolimi, sengaja dibuat kesal atau diperlakukan tidak baik, maka ingatlah bahwa perlakukan orang lain yang terjadi terhadap kita itu sudah kehendak Allah. Ingatlah selama masih nyawa masih dikandung badan, manusia pasti akan diuji dan jadikan diri kita melewati ujian itu.

Bagaimana kita meraih pahala sabar jika tidak diuji? Bagaimana kita meraih balasan memaafkan jika kita tidak tersakiti? Bagaimana kita meraih keutamaan menahan marah jika emosi kita tidak ada? 

Maka, ingatlah dalil tentang itu semua dan bagaimana Islam mengajarkan bagaimana menyikapi orang-orang yang dzalim. 

Allah berfirman:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Dari Shuhaib, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Ingatlah jua bila rasa sakit bisa menghapuskan dosa, biidznillah.

“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capai, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 2573)

Ujian akan selalu bersama orang beriman, baik lelaki maupun perempuan, baik pada diri, anak, dan hartanya sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai satu kesalahan pun.” (HR.Tirmidzi, no. 2399; Shahih Ibnu Hibban, 2924. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

“Cobaan itu akan senantiasa bersama orang yang beriman baik laki laki ataupun perempuan baik berkaitan dengan dirinya, anaknya ataupun hartanya sampai dia berjumpa dengan Allah tanpa membawa dosa.” (HR. At-Tirmidzi no. 2323 dengan sanad yang shahih)

Marah ada yang diperbolehkan seperti marah karena Allah, marah karena kebenaran, marah untuk membela agama dan marah ketika larangan Allah dilanggar. 

Marah yang perlu ditinggalkan adalah marah yang tercela, yakni marah karena urusan dunia. Kemarahan yang tidak terkontrol bisa membawa pelaku kepada perbuatan dosa lainnya seperti mencaci, memukul, membanting, berkata buruk, menyakiti hati bahkan membunuh. 

Ja’far bin Muhammad رحمه الله mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak رحمه الله, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad رحمه الله dan Ishaq رحمه الله menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.

Ketika kita jengkel atau marah sama orang, ingatlah kembali bahwa manusia bisa melakukan kesalahan tetapi ingatlah juga akan kebaikan orang lain. Introspeksi diri justru harus dikedepankan karena bisa jadi kita yang membuat masalah dan memicu orang lain jadi reaktif. Jangan terburu-buru menyalahkan orang lain. Jika dengan siapa saja kita hampir memiliki masalah yang tidak jauh berbeda, bisa jadi kesalahan terletak pada diri kita.

Tentunya kita perlu muhasabah. Apakah kita yang salah atau orang lain itu khilaf. Bisa jadi… Kita marah bukan orang lain yang salah. Namun, kita yang terlalu egois dan belum bisa menerima cara berpikir atau sudut pandang orang lain terhadap permasalahan yang kita hadapi.

Sebenarnya, masalah kita dengan orang lain bisa dihadapi dengan kepala dingin apabila ada kesadaran dari kedua belah pihak untuk menyadari, saling meminta maaf, dan memaafkan. Bukan justru merasa benar sendiri dan bersikap playing victim.

Ingat Wasiat Nabi

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi , “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari, no. 6116).***

– Nzy @2023 – 

0

Sedang Mengambil Data…

Download via
Google Play Store

Silahkan Copy Link
Google Play Store Berikut :